HUT Rembang 281RembangRembang Hari Ini

Jamasan Bende Becak : Tradisi yang Menjadi Ironi

Setiap Hari Raya Idul Adha, ada tradisi unik yang secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Tradisi ini adalah jamasan Bende Becak yang tahun ini dilaksanakan pada hari Ahad waktu setempat. Dalam tradisi ini, Bende Becak atau sejenis gong kecil peninggalan Sunan Bonang dibersihkan menggunakan air yang sudah disiapkan dalam sebuah gentong berisi bunga wewangian. Tradisi yang digelar setiap tahun ini dilakukan untuk mengingatkan para santri dan masyarakat sekitar kepada ajaran Islam yang disampaikan Sunan Bonang di Lasem, Rembang.

Baca Juga :

Rembang Nyaman dan Mempesona

Tradisi Mbesik: Membersihkan Makam Jelang Ramadan

Tradisi Maritim di Rembang dalam Catatan Sejarah

Asal-Usul Bende Becak

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Bende Becak adalah seorang utusan dari kerajaan Majapahit yang bernama Becak. Becak dikirim oleh Raja Majapahit untuk menyampaikan surat penolakan Sang Raja atas ajakan Sunang Bonang untuk masuk agama Islam.

Utusan tersebut tidak langsung pulang setelah menyampaikan surat dari Raja Brawijaya. Ia beristirahat di dekat kediaman Sunan Bonang sambil bersenandung. Sementara itu, didalam kediamannya, Sunan Bonang dan para santri sedang mengaji. Merasa terganggu dengan suara tembangan Becak, Sunan Bonang pun bertanya kepada santrinya.

“ Siapa yang nembang di luar itu “

Para Santri menjawab bahwa diluar ada Becak yang sedang nembang. Namun Sunan Bonang justru menjawab bahwa itu adalah suara bende. Beberapa santri pergi keluar untuk memastikan kembali. Namun mereka tidak menjumpai becak melainkan hanya melihat sebuah bende yang tertinggal disana.

Kepercayaan Masyarakat seputar Bende Becak

Seperti yang terjadi dari tahun ke tahun, setiap kali jamasan Bende Becak selalu dihadiri oleh banyak orang yang tak hanya dari Rembang. Banyak diantaranya datang dari luar kota hanya untuk mendapatkan air sisa jamasan Bende Becak. Mereka percaya bahwa air sisa jamasan ini membawa keberkahan dan memiliki khasiat khusus seperti menyembuhkan penyakit. Meskipun begitu, hal ini belum pernah teruji secara ilmiah.

Fenomena seperti ini sebenarnya adalah sebuah ironi. Sebuah ironi yang terjadi dikala Sunan Bonang menyebarkan agama Islam untuk menjauhi kesyirikan, namun peninggalannya justru digunakan sebagai objek untuk praktik yang mendekati kesyirikan.

Sepertinya kita harus kembali kepada nilai ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Bonang dan kembali berfikir secara logis. Bukankah dengan mempercayai air sisa jamasan membawa keberkahan itu pertanda bahwa kita tidak menghormati syiar Islam yang disampaikan Sunan Bonang? Padahal mungkin sebagian besar masyarakat tersebut datang dengan niat untuk menghormati Sunan Bonang. Jadi masihkah praktik rebutan air sisa jamasan tersebut dilanjutkan?

Jika boleh saya memberi saran, alangkah lebih baik jika yang datang dari jauh menyempatkan diri ziarah dan berdoa untuk para Ulama termasuk para Sunan yang telah membawa Islam sampai di Tanah Jawa tanpa berharap mendapatkan sesuatu dari makan atau peninggalannya. Saya rasa itu jauh lebih menghormati para Ulama tersebut.  Kemudian, perjalanan dari Bonang bisa dilanjutkan ke kediaman para kiai di Lasem, Rembang, dan Kragan untuk bersilaturrahim, mendapatkan nasihat, dan ilmu. Setelahnya mungkin dapat dilanjutkan untuk melihat peninggalan kejayaan Islam yang masih terjaga di pondok-pondok tradisional Rembang.

Intinya sebuah tradisi ini ada pasti membawa nilai kebaikan namun jangan sampai tradisi yang baik disalahartikan sehingga menggeser makna sebenarnya. (MHZ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button