Entah kapan pastinya jalanan Rembang dipenuhi oleh baliho tokoh politik Indonesia. Warna-warni partai politiknya. Bagi pengusaha reklame atau baliho ini mungkin berkah, tapi bagi sebagian masyarakat ini bisa dianggap sebagai polusi visual. Bukan karena sosok di dalamnya tapi jengah dengan cara mereka memperkenalkan diri. Seolah nama mereka tidak bisa diangkat dengan prestasi yang membuat rakyat bersimpati sehingga memutuskan untuk “bertarung di jalanan”.
Bayangkan saja masyarakat yang hampir sebulan penuh di rumah karena PPKM Darurat ketika memutuskan untuk sejenak kota-kota malah dihadapkann dengan jalanan kota yang mirip feed instagram partai politik, yang mana di media sosial gambar serupa juga banyak bersliweran.
Akan sulit membantah baliho yang ada sama sekali tidak ada kaitannya dengan gelaran Pilpres 2024 mendatang. Ketika presiden sekarang secara aturan sudah tidak boleh lagi mencalonkan, mungkin partai politik mencoba tes ombak dengan “memajang” jagoannya di kota-kota termasuk Rembang. Kan tidak mungkin memasang foto segede baliho hanya untuk iseng? Bahkan narsis pun saya rasa kok tidak mungkin.
“Pertarungan” di medium baliho ini tentu saja tidak akan menghasilkan pemenang, yang ada malah banyak keluhan. Mulai dari polusi visual, nirempati politisi di masa pandemi, dan beberapa lainnya,
Sulit juga rasanya untuk tidak rasan-rasan tentang bagaimana foto profil berukuran jumbo ini bisa menarik. Misalnya, dengan membuat desain yang sesuai dengan daerah tempat baliho itu dipasang. Ini tentunya akan membutuhkan lebih banyak designer, nambah ongkos juga. Harusnya sih bukan masalah serius ya, tinggal kurangi ongkos produksinya aja.
Atau kalau mau lebih luas dikenal dan menyentuh sanubari masyarakat cetak saja ukuran 4×6, terus ditempel di kotak bantuan yang isinya masker, vitamin, sembako, dan semacamnya. Kemudian didistribusikan ke seluruh Rembang yang mulai banyak mengkis-mengkis karena PPKM dan pandemi.
