OpiniSejarah

Orang Jawa Tidak Bermarga? Inilah Alasannya

Paijo, Ngainah, Yainah, Ngatiyem, Darmini, Darmono, Sutejo, Karmani, dan Joko adalah sebagian kecil dari nama-nama orang Jawa. Bagi orang Jawa sudah hal yang lumrah melihat tetangga, saudara, dan orangtuanya yang memiliki nama hanya terdiri dari satu kata. Namun, hal itu menjadi sangat asing bagi orang-orang luar yang menganggap nama keluarga itu penting. Bahkan tidak hanya di luar negeri, di negara kita sendiri ada beberapa suku yang memang terkenal dengan marganya. Misalnya saja marga Sitorus,Nababan, dan Simanjuntak yang terdapat di suku Batak. Ada juga marga dari suku Minang yang terkenal misalnya Chaniago. Lalu, apa yang menyebabkan sebagian besar orang Jawa tidak bermarga?

Budaya dan Kebiasaan Orang Jawa Abangan

Pada dasarnya budaya dan kebiasaan orang Jawa yang pada zaman dahulu tidak terlalu menganggap penting sebuah nama. Hal ini dikarenakan nama bisa diganti ketika misalnya terjadi perubahan status, atau karena sakit dan sebagainya. Bahkan tak jarang orang jawa zaman dahulu memiliki nama yang berasal dari nama hari atau pasaran Jawa seperti Rebo, Kemis, Senen, Kliwon, Wage, Pon, dan Pahing. Pemberian nama seperti ini bagi orang Jawa zaman dahulu adalah untuk mempermudah saat mengadakan upacara adat yang dilakukan pada hari atau pasaran tertentu sesuai dengan hari lahir.

Perlu diketahui juga bahwa sebagian besar dari masyarakat Jawa dahulu bahkan tidak tahu tanggal berapa anaknya lahir. Namun mereka menggunakan sebuah peristiwa yang terjadi saat kelahiran anaknya sebagai tetenger atau penanda misalnya saat pembangunan bendungan, saat pembangunan masjid dan peristiwa lain. Sehingga banyak juga yang pada akhirnya terpaksa mengira-ngira tanggal lahir untuk ditulis di KTP. Tentu saja hal ini hanya terjadi di kalangan abangan masyarakat Jawa.

Marga bagi Kaum Kiai dan Priyayi

Bagi kaum priyayi dan kiai, nama orangtua alias marga menjadi penting karena untuk memudahkan identifikasi garis keturunan. Seperti yang diketahui, para kiai jawa yang menyebarkan ilmu agama tentu harus mencatat garis keturunan alias nasab dan juga garis keilmuan untuk menjaga kemurnian ajaran yang disampaikan dari generasi ke generasi. Nama-nama kiai yang sekarang ini kita dengar seperti KH. Mustofa Bisri  atau Gusmus, juga menyandang nama ayahandanya dalam nama asli beliau. Begitu pula banyak kiai lain yang ada di Jawa.

Sebagian besar kaum priyayi menggunakan nama marga lebih untuk memudahkan dalam urusan pendataan harta waris dan penguasaan tanah serta keturunan yang mewarisi. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu belum ada lembaga pencatatan sipil seperti sekarang. Seringnya nama–nama yang digunakan oleh priyayi adalah nama–nama yang tidak umum sehingga menjadikan ciri khas dan pembeda antara satu dengan yang lain. Dapat dikatakan, kaum priyayi ini adalah kalangan atasnya orang Jawa yang sudah tentu pewarisan pengaruh dan kekuasaan dianggap sangat penting.

Marga bagi Masyarakat Jawa Saat Ini

Seiring berkembangnya zaman, nama-nama orang Jawa tidak lagi hanya menggunakan satu kata. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya saja untuk memudahkan dalam pengurusan dokumen kependudukan. Apalagi dalam urusan dokumen internasional seperti passport yang memerlukan setidaknya 3 kata dalam nama seseorang. Jadi bagi yang memiliki nama hanya satu kata biasanya akan menambahkan nama ayah dan kakeknya.

Meski sudah lebih dari satu kata, ternyata banyak juga orang Jawa saat ini yang tidak mencantumkan nama orangtua atau marga. Yah, apapun dan berapapun banyaknya kata dalam sebuah nama tidak lebih penting dari harapan dan doa yang ditujukan kepada si pemilik nama ini.

Intinya adalah setiap orang tua harus memberikan nama yang baik untuk anaknya karena nama yang baik juga merupakan hak asasi bagi seorang anak. Bagaimana menurutmu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button