Baru TahuTerkini

Kegiatan Berulang Setiap Tahun di 30 September

Dalam catatan Sejarah di Indonesia setiap tanggal 30 September rakyat Indonesia mengenang kembali duka dan luka yang pernah ditorehkan melalui sebuah gerakan pemberontakan yang dikenal dengan nama G30S/PKI. Tren mengenai isu lama kisah “PKI” terus berulang setiap tahun baik bersamaan dengan momentum kelahiran Pancasila di bulan Juni maupun menjelang hari Kesaktian Pancasila di awal bulan Oktober. Isu terkini yang masih menjadi perbincangan hangat adalah pro dan kontra pemutaran kembali film peristiwa pemberontakan PKI yang menewaskan beberapa jendral TNI AD.

Di setiap tahun terjadi diskusi di berbagai media sosial terkait dengan peristiwa 30 September 1965. Diskusi mengenai hal tersebut memicu adanya klaster yang berhubungan dengan pemutaran film G30S/PKI. Klaster pertama terdiri dari berbagai pihak seperti akun pro oposisi, media, dan akun-akun nonpartisan yang membahas mengenai diskursus dari pemutaran film tersebut. Diskursus yang muncul pada klaster pertama tersebut menimbulkan adanya sudut pandang lain terhadap pemutaran film G30S/PKI. Diskursus dalam klaster tersebut membuka jalan antara yang ingin move on dengan memaafkan atau tidak terhadap peristiwa 30 September 1965. Pada klaster lain yang jumlahnya lebih kecil mengusung narasi tunggal terkait pro dan kontra pemutaran film G30S/PKI yang dilakukan secara berulang setiap tahun.

Diskusi tentang peristiwa G30S/PKI dan pemutaran film yang terjadi setiap tahun tidak terbatas oleh usia tertentu, namun dari kutipan tweet @ismailfahmi, pada tahun 2020 lalu distribusi netizen twitter G30S/PKI lebih dominan dilakukan oleh para pengguna twitter yang berusia lebih dari 4o tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori “tua” di era generasi Z saat ini.

Kondisi psikologis juga mempengaruhi dalam terjadinya diskusi di media sosial. Hubungan psikologis yang paling kuat terjadi dalam bentuk emosi mengenai kepercayaan netizen terhadap film G30S/PKI yang menuai pro dan kontra. Pihak yang pro terhadap film dan peristiwa G30S/PKI didukung oleh fakta bahwa orang tua mereka mengalami sendiri kejadian tersebut, sedangkan pihak yang kontra berasumsi terhadap film jagal yang menunjukkan kekejaman pemerintah yang menjagal korban PKI. Emosi lain terhadap film tersebut berupa ketakutan, kesedihan, cinta, dan amarah. Ketakutan yang muncul setelah film tersebut didasari atas ketakutan dan trauma yang muncul kembali setelah melihat tayangan film mengenai kekejaman PKI. Kesedihan juga turut dirasakan apabila mengingat kekejaman PKI dari cerita orang tua dan melihat adegan dalam film. Film tersebut ditayangkan kembali dengan tujuan untuk membangun rasa cinta tanah air. Bagi yang marah dan menolak pemutaran kembali film G30S/PKI dituding sebagai para simpatisan PKI.

Berdasar pada cuitan @ismailfahmi menunjukkan bahwa diskusi mengenai G30S/PKI di twitter juga bisa dilakukan oleh akun BOT. Akun yang terindikasi sebagai BOT biasanya hanya berupa re-tweet sebanyak 200 kali terhadap tweet dari pengguna lain dan tidak ada aktivitas lain. Para pengguna Instagram juga tak kalah ramai melakukan diskusi mengenai peristiwa G30S/PKI. Para pengguna Instagram lebih menyukai gambar dan postingan video yang menampilkan cuplikan film atau gambar pengangkatan jenazah para pahlawan. Video Gatot Nurmayanto yang menyatakan bahwa paham komunis sudah masuk diberbagai lini juga tak terlepas dari sorotan public.

Terlepas dari akurasi sejarah, pro dan kontra pemutaran film tentunya harus muncul rekonsiliasi untuk mencari titik temu dari permasalahan ini. Sejarah memang harus dikenang dan dipelajari namun tidak untuk terus saling menyakiti, bukankan perdamaian lebih baik daripada perpecahan?

 

Sumber: https://twitter.com/ismailfahmi/status/1311267367851143168

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button